Jumat, 23 April 2010

Wereng Serang Padi


"WERENG". Sebuah nama yang tidak asing bagi petani dan sebuah nama yang sangat dimusuhi oleh petani. Salah satu Organisme pengganggu tanaman ini sangat merugikan petani, karena hama ini bisa meludeskan tanaman padi milik petani. Akibatnya panen gagal dan tanaman padi yang sangat diharapkan petani pun tidak bisa didapat. Nampaknya hama wereng tidak hanya menyerang petani secara harfiah saja, namun wereng - wereng yang berbentuk lain juga menyerang petani.
----------------------------------------------
Subang, Kompas - Sedikitnya 6.265 hektar tanaman padi di 102 desa di Kabupaten Subang, Jawa Barat, diserang hama wereng batang coklat tiga bulan terakhir. Sebanyak 395 hektar di antaranya gagal panen dan dimusnahkan untuk memutus siklus serangan.

Serangan wereng terparah terjadi di kecamatan-kecamatan seperti Pabuaran seluas 1.719 hektar (ha), Patokbeusi (1.577 ha), Ciasem (850 ha), dan Blanakan (663 ha). Dari 395 ha yang gagal panen (puso), 270 ha di antaranya di Patokbeusi, 120 ha di Ciasem, dan 5 ha di Pabuaran. Petani diperkirakan merugi hingga Rp 3 juta per ha.

Satim (60), pemilik 1 ha sawah di Desa Ciberes, Patokbeusi, Rabu (21/4), menyebutkan, wereng menyerang sejak padi berumur 40 hari. Saat usia padi 60 hari, pekan lalu, tanaman telah rusak. Daun dan batang tampak coklat kemerahan dan mengering.

Padahal, Satim telah mengeluarkan modal, antara lain Rp 1,5 juta untuk pengolahan lahan, penanaman, dan pemupukan. Dia juga membayar lebih dari Rp 1,3 juta untuk membeli pestisida dan ongkos kuli serta Rp 200.000 untuk persemaian benih. Tanaman padi milik Satim sudah tidak dapat diselamatkan dan harus dimusnahkan.

Sarma (40), petani lain di Ciberes, menambahkan, ongkos pestisida melonjak lebih dari dua kali lipat. Hingga usia padi 60 hari, penyemprotan dilakukan 13 kali. Padahal, pada musim sebelumnya dilakukan 5-8 kali hingga padi panen (100 hari).

”Modal telah banyak keluar, sementara padi harus dimusnahkan karena hama sulit dibasmi. Selain rugi, petani masih terbebani harga eceran pupuk yang naik dua pekan ini,” ujar Sarma.

Ayub (35), petani di Desa Gempolsari, Patokbeusi, menambahkan, serangan wereng yang menyerang sawahnya musim ini merupakan yang terparah dalam dua tahun terakhir. ”Wereng kadang menyerang, tetapi dapat dikendalikan dan tidak menyebabkan puso,” ujarnya.

Pemusnahan

Kepala Bidang Produksi dan Perlindungan Tanaman pada Dinas Pertanian Subang Ani Sofiani menyebutkan, tahun lalu wereng menyerang lahan kurang dari 1.000 ha dan tidak menyebabkan puso. Tahun ini serangan eksplosif dan menyebar dengan cepat, hingga mencapai 6.265 ha dari total luas lahan di Subang pada musim tanam rendeng (pertama) ini sekitar 88.000 ha.

Ani menambahkan, agar serangan terputus dan tidak menyebar lebih luas, tanaman yang terserang disemprot dan dimusnahkan. Proses pemusnahan dilakukan petani bersama instansi terkait sejak awal pekan lalu.

Selain Dinas Pertanian Subang, upaya itu melibatkan Dinas Pertanian Jawa Barat, Kementerian Pertanian, Balai Penelitian Padi Sukamandi, Balai Besar Peramalan Hama Jatisari, serta Balai Proteksi Tanaman Pangan dan Hortikultura Jawa Barat.

Baskoro, praktisi dari Balai Besar Peramalan Hama Jatisari, menambahkan, dampak perubahan iklim global yang memengaruhi suhu, kelembaban, dan angin turut memengaruhi perkembangbiakan dan penyebaran wereng. Untuk mengendalikan dan menekan populasi wereng, salah satu cara yang dapat ditempuh adalah memutus sumber makanan atau inang, antara lain, dengan awal tanam secara serentak.

kompas, 22 april 2010

Baca selengkapnya......

Selasa, 13 April 2010

Forum Petani Jember Tolak Kenaikan Harga Pupuk

Nampaknya distribusi pupuk ditingkat petani tidak lepas dari pormasalahan. Mulai dari perencanaan sampai dengan distribusi selalu dibumbuhi dengan protes petani. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan lebih mendalam terkait pupuk. Baik subsidi maupun distribusinya. Di pihak lain, petani sebagai pengguna pupuk, sudah saatnya untuk memikirkan bagaimana memanfaatkan pupuk organik sebagai pupuk utama, dan sudah mulai tidak tergantung dengan pupuk kimia.
==================================== 

TEMPO Interaktif, Jember - Ketua Forum Petani Jember, Jumantoro. Menurutnya, ratusan petani yang tergabung dalam Forum Petani Jember (FPJ) menolak rencana kebijakan pemerintah menaikan harga pupuk bulan ini. "Tetapi pemerintah rupanya tidak mau mendengar dan mau tahu nasib petani," katanya, Senin (12/4).

Jumantoro menilai, kebijakan pemerintah menaikan harga pupuk sangat tidak tepat dan justru bisa memicu masalah baru. "Petani akan lebih kelimpungan. Apalagi kebijakan itu hanya sepihak," katanya.

Imam Yahya, seorang petani Jember menambahkan, kebijakan pemerintah menaikkan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubdisi itu justru diterapkan pada saat kebutuhan petani terhadap pupuk tinggi. "April merupakan awal masa pemupukan musim tanam pertama tahun ini," ujarnya.

Keluhan juga diungkapkan Muhyidin, petani lainnya. "Seperti tidak ada hasilnya (keuntungan). Kemarin gabah hasil panen laku di bawah HPP. Sekarang harga pupuk naik," katanya.

Sejak Jum'at pekan lalu, harga pupuk bersubsidi di Jember naik hingga 50 persen. Pupuk Urea yang biasanya Rp 1200 per kilogram melonjak menjadi Rp 1600 per kilogram. Jenis pupuk lainnya seperti Phonska, juga naik dari Rp 1750 menjadi Rp 2300 per kilogram.

Tempointeraktif, 12 april 2010

Baca selengkapnya......

Sabtu, 10 April 2010

Petani Bawang Merah Sesalkan Kenaikan Harga Pupuk

Kenaikan harga pupuk sangat memukul petani bawang merah di Brebes, Jawa Tengah. Kebijakan ini tentunya akan berpengaruh pada pasar bawang merah. Penggunaan pupuk organik nampaknya akan menjadi solusi yang lebih tepat dan mandiri bagi petani, sementara pemerintah terus menaikkan harga pupuk.

@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@@

TEMPO Interaktif, Brebes - Petani bawang merah asal Kabupaten Brebes menyayangkan kebijakan pemerintah yang telah menaikkan harga pupuk hingga 30 persen dari harga sebelumya. Mereka mengakui harga pupuk ini akan berpengaruh ada pendapatan dari penjualan hasil panen.

“Biaya produksi mengolah lahan akan semakin tinggi, sedangkan penjualan hasil panen tak ada perlindungan dari pemerintah,” ujar Juwari, Sekretaris Asosiasi Petani Bawang Merah Indonesia, saat dimintai komentar terkait kenaikan harga pupuk, Jumat (9/4).

Ia khawatir kenaikan harga pupuk ini berpengaruh pada tingginya biaya produksi bawang merah. Menurut Juwari, berkurangnya pendapatan tersebut disebabkan mahalnya biaya perawatan, termasuk pembelian pupuk urea yang sangat dibutuhkan untuk mengolah lahan maupun merawat tanaman.

“Perawatan tanaman bawang itu lebih rumit dari tanaman lain, memerlukan biaya tinggi termasuk suplai pupuk yang tak sedikit,” ujar Juwari.

Ia berharap kenaikan harga pupuk ini harus diimbangi dengan keterlibatan pemerintah untuk melindungai penjualan bawang merah yang diproduksi petani. Langkah ini bisa dilakukan dengan cara penetapan harga yang diukur sesuai biaya produksi hasil pertanian .

“Kalau kebijakan kenaikan harga pupuk bisa dilakukan, kenapa penetapan harga tak bisa,” kata Juwari.

Kepala Pemasaran PT Kujang Wilayah Brebes dan Tegal, Dadeng Suherman, mengaku segera mensosialisasikan kenaikan harga pupuk kepada petani langsung. Langkah ini dilakukan agar tak terjadi gejolak antara petani dan pengecer. “Besok kami segera turun ke lapangan untuk sosialisasi,” katanya.

Ia menjamin kenaikan harga pupuk ini tak akan berengaruh pada kelangkaan di pasaran. Bahkan, menurut dia, saat ini persediaan pupuk di wilayah kerjanya melebihi kebutuhan. “Di Brebes mencapai 18 ribu ton, lebih tingi dari kebutuhan bulan ini yang hanya 3.500 ton,” ujar Dadeng.

Ia juga berjanji akan menindak sejumlah distributor pupuk yang dinilai mencari keuntungan dari kenaikan harga ini. Langkah ini dilakukan dengan cara membuka kotak aduan maupun mengontrol ke lapangan langsung. “Itu berlaku bagi pengecr resmi, kalau ketahuan nakal, distributornya yang kena juga,” katanya. EDI FAISOL

Tempointeraktif, 9 April 2010

Baca selengkapnya......

Petani: Harga Pupuk Naik, Harga Gabah Juga Harus Naik


Kegelisahan petani akibat pupuk kembali muncul di kawasan Madiun dan sekitarnya. Kenaikan pupuk sekitar 30% oleh pemerintah, seharusnya diikuti oleh kenaikan harga gabah kering giling. Selama ini petani selalu saja menjadi pihak yang terkalahkan. Harga pupuk, pestisida, tenaga kerja terus naik, tetapi harga jual gabah cenderung menurun. Akibatnya petani (padi) akan mengalami kerugian, ataupun bila bernasib baikpun ketika keadaan impas.
***************************
TEMPO Interaktif, PACITAN - Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) Pacitan, Jawa Timur, berharap harga pembelian pemerintah (HPP) terhadap gabah kering giling dari petani dinaikkan selaras dengan kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk bersubsidi yang mulai diberlakukan sejak Jum’at ini (9/4).

Pemerintah melalui Kementrian Pertanian menaikkan HET pupuk bersubisi rata-rata mencapai 30 persen. Maka menurut Ketua Dewan Pimpinan Kabupaten HKTI Pacitan Wiwik Pujaistuti, ”Setidaknya prosentase kenaikan HPP sama dengan kenaikan HET pupuk bersubsidi.”

Wiwik menegaskan beban petani akan semakin berat akibat kenaikan HET pupuk bersubsidi. Sebab berpengaruh langsung pada biaya produksi. Selain itu, Wiwik juga menilai ada mekanisme yang janggal. Biasanya HPP ditetapkan terlebih dahulu baru kemudian menetapkan HET pupuk. ”Lha ini terbalik, HET pupuk dinaikkan lebih dahulu sedangkan HPP menyesuaikannya,” ujarnya.

Hal yang sama dikatakan Ketua Kontak Tani dan Nelayan Andalan Kabupaten Madiun Suharno. Keputusan menaikkan HET pupuk bersubsidi sangat memberatkan petani, terutama karena kenaikan tersebut juga meliputi harga pupuk urea yang paling banyak digunakan petani. ”Semoga kenaikan biaya produksi dapat tertolong dengan penerapan HPP gabah yang memadai,” tuturnya.

Samiran, 40 tahun, petani asal Desa Sukosari, Kecamatan Dagangan, Madiun, tidak saja mengkhawatirkan kenaikan HET pupuk bersubisi. ”Akibat kenaikan tersebut, beban petani pasti berat. Tapi lebih berat lagi kalau pupuknya juga langka saat kami butuhkan,” ucapnya.

Semula pemerintah merencanakan kenaikan HET pupuk bersubsidi sekitar 50 persen. Namun dengan berbagai pertimbangan, ditetapkan rata-rata 30 persen. Pupuk urea naik dari Rp 1.200 per kilogram menjadi Rp 1.600. Pupuk SP-36 dari Rp 1.550 per kilogram menjadi Rp 2.000. Sedangkan pupuk ZA Rp1.400 per kilogram dari sebelumnya Rp 1.050. Adapun pupuk NPK naik dari kisaran Rp 1.586-Rp1.830 per kilogram menjadi Rp 2.300 per kilogram.

Kenaikan HET pupuk bersubsidi ini akibat berkurangnya dana subsidi pengadaan pupuk dari pemerintah yang pada tahun 2009 Rp 17,5 triliun menjadi Rp 15,8 triliun untuk tahun 2010. ISHOMUDDIN.

Tempointeraktif, 9 april 2010

Baca selengkapnya......